skip to main |
skip to sidebar
“Kemarin malam dua narapidana melarikan diri dari
penjara. Kedua pria ini bersenjata dan sangat berbahaya.”
Dony mematikan TV.
“Jadi mereka tahu kemana kita pergi sekarang.” Dony yang
berumur 39 tahun, dipenjara karena mengedarkan narkoba.
Keterkaitannya dengan jaringan obat bius membuatnya
mendapat hukuman penjara 20 tahun sampai seumur hidup.
“Saat ini mereka pasti sudah menemukan peta yang aku
tinggalkan dan pasti mereka berpikir kita sedang kabur
menuju ke utara. Kita hanya perlu menunggu 24 jam lalu
bergerak ke selatan. Hari Kamis kita akan bertemu dengan
Eddy dan hari Jumat kita pasti sudah ongkang-ongkang kaki
menikmati hidup di luar negri.”
“Kedengarannya OK,” kata Jono. Jono adalah rekan Dony
dalam pelariannya. Jono sendiri terpidana 20 tahun atas
pemerkosaan dan penculikan yang diperbuatnya terhadap 2
teman kuliahnya. Walau terlihat mereka bukan pasangan
yang cocok, Jono sangat setia kepada Dony selama hidup
bersama di penjara.
Ricky memandang istrinya, Lusi. Mereka berdua memang
bukan dipilih secara khusus oleh kedua narapidana tersebut.
Ricky dan Lusi hanya berada di tempat dan waktu yang
salah. Dony hanya memencet bel rumah itu. Saat Ricky
membukakan pintu, Dony dan Jono menyerbu memaksa
masuk ke dalam rumah. Saat itu suami istri tersebut baru
menyadari betapa parahnya keadaan mereka. Kedua pria
yang dikategorikan “bersenjata dan sangat berbahaya” baru
saja memaksa masuk ke dalam rumahnya. Ricky bukan
seorang yang bertubuh besar dan ia tahu bahwa dirinya
bukan tandingan kedua narapidana itu.
“Kelihatannya kita semua akan saling mengenal lebih jauh
lagi dalam waktu 24 jam ke depan. Kalau kalian mau
bekerja sama maka kalian akan melewati semua ini hidup-
hidup. Tapi jika tidak, akan terjadi pertumpahan darah
dengan cepat. Apa kalian mengerti?”
Ricky menatap Dony lalu menganggukkan kepalanya.
“Kami tidak ingin mencari masalah. Kami tidak perduli apa
yang telah kalian perbuat atau kemana kalian akan pergi.
Kami akan bekerja sama.”
“Bagus, bagus,” kata Jono sambil berjalan menghampiri
Lusi dan memandangi tubuhnya dari ujung rambut sampai
ke ujung kakinya, “Bagus, bagus.”
Dony sadar bahwa akan sulit mengontrol Jono dalam situasi
seperti ini. Sebenarnya ada saja alasan yang bisa dipakai.
Dengan hukuman penjara 20 sampai seumur hidup,
ditambah lagi dengan kaburnya mereka dari penjara, jika
mereka sampai tertangkap lagi, mereka tidak rugi apa-apa.
Memang pemerkosaan bukanlah gaya Dony namun sudah
lama ia tidak menikmati wanita dan Lusi sangatlah menarik.
Dengan tinggi badan 157 cm dan berat 50 kg, kunjungan
rutin Lusi ke fitness center 3 kali dalam satu minggu
tidaklah sia-sia. Lusi memiliki pantat yang bulat dan
kencang, perut yang rata dan payudara yang ranum berisi
dan memiliki lekuk tubuh yang terlihat seperti gitar yang
sudah pasti akan menarik perhatian para pria. Dony
mendapati penisnya mengeras hanya karena membayangkan
tubuh Lusi.
Saat Jono mengelilingi Lusi, Ricky mencoba untuk
menghalanginya namun tangan Dony sudah mencengkram
lehernya. Kekuatan cengkraman tangan Dony membuat
Ricky terduduk jatuh sambil menghirup udara sebanyak-
banyaknya karena kehabisan nafas. “Jangan macam-macam,
bocah!” kata Dony, “Jangan coba-coba jadi jagoan. Kamu
cuma akan membuat keadaan jadi tambah buruk dan bahkan
mungkin bisa membuat keluargamu terbunuh.”
Jono menahan lengan Lusi ketika ia hendak menolong
Ricky. “Aduh, Lusi, Ricky baik-baik saja kok. Dia hanya
perlu bernafas dengan baik. Seharusnya kamu lebih
memikirkan keadaanmu dan juga dia.” Dengan
menggunakan gerakan kepalanya, Jono menunjuk ke arah
Winda, anak Lusi dan Ricky yang baru berumur 15 tahun.
Wajah Winda sangat mirip dengan wajah ibunya. Dari
bentuk tubuhnya, Winda terlihat sudah masuk ke masa
remaja dengan perut yang mulai mengecil dan buah
dadanya yang sudah terbentuk, walau tidak sebesar payudara
Lusi.
“Jangan bawa-bawa dia ke dalam masalah ini!” teriak Lusi.
“Ia hanya anak kecil.” Melihat dirinya menjadi topik
permasalahan, Winda mulai menangis. Melihat hal ini,
Ricky berniat bangkit berdiri namun usahanya dipatahkan
oleh Dony dengan mendorong tubuhnya dengan kakinya.
“Duduk diam! Kalau kalian semua bekerja sama, kami tidak
akan mencelakai anak itu,” kata Dony dengan penuh kuasa.
Dony tahu dalam hatinya bahwa Winda yang masih muda
itu akan menjadi godaan yang sangat sulit untuk dilewatkan
baik oleh Jono maupun oleh dirinya. Walaupun demikian,
dengan menawarkan sedikit harapan akan dapat
membantunya mengontrol situasi seperti ini.
Jono mengambil alih kendali. “Oke, semuanya duduk di
sofa. Ayo sekarang! Dony, kau perhatikan mereka.”
Setelah itu Jono keluar dari ruangan. Beberapa saat
kemudian ia kembali dengan senyum penuh kemenangan
dan gulungan tali.
“Oke, bung. Berdiri!” perintahnya.
Ricky berdiri dengan perlahan. Pikirannya berkecamuk. Jika
ia membiarkan dirinya diikat, ia akan menjadi tak berdaya
untuk melindungi keluarganya. Sementara pikirannya masih
berputar, Ricky melihat Jono mengeluarkan pisau dari
kantong belakang celananya lalu menjambak rambut Lusi
dan menariknya sehingga ia bangkit berdiri. Dengan
gerakan cepat Jono berputar ke belakang Lusi dan menaruh
mata pisau itu ke lehernya. Tanpa pernah melepaskan
tatapannya ke Ricky, Jono berkata, “Jangan coba-coba jadi
jagoan, bung! Ini sudah diluar kemampuanmu. Satu
gerakan saja bisa mencelakaimu dan juga keluagamu.
Sekarang, tanggalkan bajumu!”
Ricky benar-benar tak menyangka mendengar perintah itu.
Ia memang sudah menduga-duga apa yang bakal terjadi
bahkan sudah menerima kenyataan bahwa kedua binatang
ini mungkin akan memperkosa istrinya. Namun ia tidak
pernah terpikirkan bahwa mereka menginginkan tubuhnya.
Dony tersenyum. Hal ini adalah trik lama di penjara.
Menelanjangi seseorang akan membuatnya merasa tak
berdaya dan lemah. Seseorang yang telanjang akan jauh
lebih mudah dikontrol.
“Ayo cepat, bung. Aku mau semua bajumu dilepaskan.”
Sementara pikirannya terus berkecamuk, Ricky mulai
membuka satu per satu kancing kemejanya. Setelah itu ia
melepaskan sepatu dan kaos kaki. Dan yang terakhir ia
menanggalkan celana panjangnya.
Jono mengangguk ke arah celana dalamnya. “Semuanya,
bung. Aku mau kau telanjang seperti saat kamu dilahirkan,”
katanya dengan senyum yang lebar.
“Tapi…,” Ricky menyela sambil menggerakkan kepalanya
ke arah putrinya yang masih berumur 15 tahun itu.
“Memangnya kenapa, Pa?” ejek Jono. “Winda belum pernah
melihat laki-laki yang telanjang? Aku rasa ia sudah pernah
melihatnya!”
Menoleh ke Winda, ia bertanya, “Bagaimana Winda?
Apakah kamu pernah melihat ular bermata satu?”
Dony menahan tawa. Jono memang benar-benar keparat. Ia
senang mempermalukan mereka.
Pada kenyataannya Winda sudah tidak perawan. Ia sudah
pernah melakukan hubungan seks beberapa kali dengan
pacarnya, Tommy. Sadar bahwa saat itu bukanlah saat yang
tepat untuk bercerita tentang hal itu baik kepada kedua
narapidana itu maupun kepada kedua orang tuanya, Winda
menggelengkan kepalanya untuk menjawab: tidak.
“Semuanya, Pa. Sekarang!” Jono membentak.
Melihat sedikitnya alternatif yang ia miliki, Ricky
menanggalkan celana dalamnya dengan perlahan. Memang
penis Ricky termasuk berukuran kecil saat berereksi, namun
dalam kondisi seperti ini penisnya bak siput yang
bersembunyi ketakutan.
Melihat hal ini, Jono tertawa terpingkal-pingkal. “Pantas
saja sedari tadi dia berusaha untuk menyembunyikannya.”
Jono menengok ke arah Winda dan berkata, “Jangan
khawatir, Winda. Hari ini kamu akan melihat ukuran laki-
laki yang sesungguhnya.”
Jono menarik sebuah kursi dari ruang makan dan
menaruhnya di tengah-tengah ruangan. Semua pandangan
jatuh pada Jono saat ia mengitari Ricky. “Mungkin aku
harus memanggilmu: banci untuk ukuran penismu yang
mepermalukan kaum laki-laki.”
Ditantang seperti itu, Lusi menjawab dengan pandangan
yang membara, “Ricky dua kali lebih laki-laki dari kau.
Dan aku menyayanginya dengan sepenuh hatiku!”
“Oh, iya, iya,” jawab Jono. Lalu ia memerintah Ricky,
“Kedua tangan di belakang kepala! Tidak ada gunanya
menyembunyikan penismu!”
Merasakan bahwa saat itu adalah kesempatannya yang
terakhir untuk mengambil alih kekuasaan, Ricky berputar ke
kiri. Ricky merasakan rambutnya dijambak oleh Dony dari
belakang. Jono menonjok perut Ricky dan ia terbungkuk
dan tersungkur kesakitan.
Sementara Ricky masih kesakitan, Jono bergerak ke
belakangnya dan mengamankan kedua tangannya dengan
mengikatnya dengan tali yang baru dibawanya. Dony dan
Jono mengangkat tubuh Ricky lalu mendudukkannya ke
kursi di tengah-tengah ruangan itu. Jono kemudian
mengikatkan kedua kaki Ricky ke kaki kursi tersebut, kiri
dan kanan.
Dony terkesan betapa cepat semua itu berlangsung dan kini
Ricky telah terikat dan diamankan. Ricky terlihat sangat
memalukan duduk terikat dengan keadaan telanjang bulat
dengan kedua kakinya mengangkang dan memperlihatkan
penisnya yang kecil terjulur keluar dari bulu-bulu
kemaluannya.
Jono mengedipkan matanya pada Dony lalu berbalik ke Lusi
yang masih duduk di sofa dengan sorot mata yang penuh
ketakutan. Melihat suaminya terikat dengan kondisi
telanjang seperti itu membuat dirinya dikuasai oleh
keputusasaan. Hanya Tuhan yang tahu apa rencana kedua
narapidana ini atas dirinya dan keluarganya.
Winda berusaha untuk memalingkan wajahnya dari ayahnya
tetapi ia tak dapat menahan dirinya untuk mencuri pandang
melihat alat kelamin ayahnya yang walau berukuran kecil
namun terlihat jelas. Winda belum pernah melihat Tommy
dalam keadaan tidak ereksi; Tommy selalu ereksi saat
bersama dengannya. Penis ayahnya sangat kecil jika
dibandingkan dengan penis Tommy yang ereksi. Winda
tidak tahu bahwa rasa takut ayahnya dapat mempengaruhi
penisnya.
Jono menjulurkan tangannya ke Lusi. Tanpa berpikir
panjang ia meraihnya. Jono segera menarik Lusi sehingga ia
berdiri di hadapannya. Kedua matanya tampak berkaca-kaca
saat ia menatap suaminya. Dengan menarik dagunya, Jono
memalingkan wajah Lusi sehingga ia memandangnya.
“Sekarang kita akan berkenalan lebih dalam,” katanya. Jono
membelai rambutnya lalu merangkulnya dan mengecup
lehernya dengan lembut.
“Ini dia,” pikir Lusi, “Jono akan membawaku masuk ke
kamar dan memperkosa tubuhku. Ia akan memperkosaku di
atas ranjang pernikahanku.”
“Penis suamimu terlihat kecil sekali, Lusi. Dengan alat
sekecil itu, kamu pasti bermasturbasi untuk mendapat
kepuasan.” Dengan berbisik di depan telinganya, Jono
bertanya kepada Lusi sekali lagi, “Apakah kamu setiap hari
bermasturbasi Lusi?”
“Tidak. Aku tidak pernah,” jawab Lusi.
“Omong kosong!” jawab Jono sambil mendorong Lusi
dengan kasar.
“Cukup sudah! Aku mau lihat kamu telanjang! Ayo buka
semua bajumu!”
Lusi baru tersadar. Laki-laki ini tidak berniat
memperkosanya di kamarnya yang tertutup. Binatang ini
berniat memperkosanya di sini, di ruang tamu tepat di
hadapan suami dan putrinya.
“Buka semua bajumu, Lusi dan tunjukkan bagaimana kamu
bermasturbasi.”
Lusi menggelengkan kepalanya untuk menolak.
Dengan gerakan yang tiba-tiba, Jono menarik robek baju
Lusi yang menyebabkan kancing-kancing bajunya
beterbangan jatuh. Dalam keadaan yang masih terkejut Lusi
hanya diam mematung saat Jono memasukkan pisaunya ke
antara buah dadanya lalu memotong BH dengan satu
tarikan.
Saat kedua bukit payudara Lusi tergantung bebas, Lusi
terkesiap, Winda memekik berteriak, dan Ricky menggeliat-
geliat berusaha melepaskan dirinya dari ikatan. Jono
tersenyum bangga. “Buah dada yang indah, Lusi! Dony,
Lusi mempunyai buah dada yang indah, kan?”
“Sudah jelas itu,” jawab Dony. “Singkat kata, ia terlihat
luar biasa!”
“Mari kita lihat bagian tubuhmu yang lain, Lusi.
Tanggalkan rok itu atau kau mau aku merobeknya juga?”
perintah Jono.
“Tolong,” pinta Lusi, “dapatkah kita masuk ke kamar. Aku
akan melakukan apa saja yang kalian perintahkan. Apa saja,
asal jangan di sini.”
“Lusi, sayang, bagaimanapun juga kamu akan melakukan
apa yang kami perintahkan. Tapi kalau kamu lebih suka
melakukannya di kamar, boleh-boleh saja,” jawab Jono.
Lusi sedikit merasa lega. Sudah cukup buruk harus
mengalami perkosaan namun akan lebih buruk lagi jika
harus melakukannya di hadapan suami dan anaknya.
Jono menoleh ke Winda dan berkata, “Winda sayang, mama
kamu mau melakukannya di dalam kamar. Kamu jadi anak
baik yah. Kamu masuk ke sana dan persiapkan ranjangnya.”
Winda tak bergerak. Ia hanya memandangi Lusi lalu ke
Jono.
“Winda, jangan membuatku untuk meminta dua kali. Masuk
ke dalam kamar dan persiapkan ranjangnya.”
Winda bangkit berdiri dan dengan terisak ia menghambur
ke dalam kamar.
“Dony, Lusi ingin agar pesta ini dipindahkan ke dalam
kamar. Tolong bantu aku untuk memindahkan Ricky. Oke?”
Lusi tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
Harapannya untuk menyelamatkan harga dirinya langsung
sirna dalam sekejap. “Bukan, maksudku hanya kau dan
aku,” protes Lusi.
“Wah, Lusi, kita kan tidak mau bersikap egois? Aku yakin
semua mau ikut melihat,” kata Jono sambil tersenyum.
“Dony, kau mau melihatnya kan?”
Dony mengangguk tanda setuju, “Tentu saja.”
Berjalan menuju Ricky, Jono menatap matanya,
“Bagaimana denganmu, bung? Kau mau melihat istrimu
bermain dengan laki-laki tulen, kan?”
Dengan berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan, Ricky
menggeram, “Kalian manusia keparat! Apa yang telah kami
lakukan terhadap kalian? Lepaskan kami. Silakan bermalam
di sini, lalu pergi setelah kalian siap. Kami tidak akan
melapor ke polisi. Tapi lepaskan kami.”
“Wah, bung. Apakah kau dapat memikirkan cara yang lebih
baik untuk melewati malam ini? Tentu saja tidak!” kata
Jono, “Lusi masuk ke dalam kamar dan tanggalkan semua
bajumu. Dony, tolong aku dong.”
Dengan kepala terkulai lemas, Lusi berjalan menuju ke
kamar. Dony dan Jono menarik kursi di mana Ricky terikat
masuk ke dalam kamar dan menempatkannya di ujung
ranjang.
“Bagaimana pemandangan dari sana, bung? Nah begitu
dong, bocah baik. Berhenti meronta-ronta dan tonton saja.”
Seperti yang telah diperintahkan, Winda telah
mempersiapkan ranjang dengan menurunkan bantal-bantal.
Kini ia meringkuk di sudut kamar sambil terisak tanpa
suara.
Lusi berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan di
kedua sisi tubuhnya dan payudaranya bulat menantang.
“Perempuan bodoh!” seru Jono. “Apa kamu tidak mengerti
apa artinya telanjang?”
Jono menatap Winda dan melambai kepadanya, “Winda,
ayo bantu mama kamu menanggalkan pakaiannya.”
Winda tidak bergerak dan Lusi mulai menangis, “Jangan
ganggu dia. Aku akan melakukannya sendiri.”
Lusi melakukan apa yang ia katakan. Lusi menanggalkan
roknya dan kini hanya tertinggal celana dalamnya. Dalam
keadaan telanjang, Lusi terlihat jauh lebih cantik bahkan
jauh di luar harapan Dony dan Jono.
“Ayo tanggalkan celana dalam itu juga, Lusi,” Jono
memberi perintah. Setelah menuruti perintah Jono, Lusi
berdiri dalam keadaan telanjang bulat di hadapan mereka.
Wajahnya bersemu merah karena malu.
“Lusi aku suka celana dalam kamu tapi bulu-bulu kamu
terlalu panjang sehingga terlihat kurang pas.”
Mendengar perkataan itu membuat Lusi menjadi sangat
malu bahkan ia berpikir tidak mungkin untuk bertambah
malu dari keadaannya sekarang. Namun Lusi salah.
“Pergi ke WC dan cukur habis bulu-bulu itu. Aku mau
bulu-bulu itu bersih seperti saat kamu berumur 12 tahun.”
Lusi memandang Jono dengan tatapan tak percaya.
“Terserah kamu. Jika kamu tidak mau melakukannya, aku
akan melakukannya untukmu.”
Lusi berjalan masuk ke WC dengan lunglai. “Dony, ada
baiknya jika kau ikut masuk dan perhatikan dia. Aku akan
berjaga di sini bersama 2 bocah ini,” kata Jono.
Pipi Lusi menjadi benar-benar merah saat Dony
mengikutinya masuk ke WC.
Kini perhatian Jono jatuh pada Winda. Ia mendekati gadis
itu dan mulai membelai pipinya. Dengan suara yang rendah
dan pelan sehingga hanya Winda yang dapat mendengar,
Jono berkata, “Tidak perlu takut, sayang. Aku tidak akan
menyakiti kalian. Biar ini menjadi rahasia kita berdua.
Sebenarnya aku hanya ingin mempermainkan papamu saja.”
Jono tersenyum dan melihat Winda menjadi sedikit lebih
rileks.
“Sekarang beri tahu aku, gadis secantik kamu… kamu
sebenarnya sudah tidak perawan, kan?”
Winda merasa senang mendengar pujian Jono. Laki-laki
sepantarannya tidak pernah memuji kecantikannya.
Sebenarnya Winda ingin menceritakan kebenarannya. “Yah,
tidak juga sih,” kata Winda sambil menatap ke bawah.
Jono menarik dagunya dan memaksa Winda untuk menatap
matanya. “Ini kesempatan buat kamu untuk merealisasikan
fantasimu. Kamu dapat dengan mudah menyalahkan apa
pun yang terjadi malam ini dengan berkata: ‘Aku tidak
punya pilihan lain’. Tidak ada yang akan dapat
menyalahkan kamu atas apa yang kamu lakukan malam ini.
Saat ini aku akan berlaku kejam terhadap papamu. Dia
memerlukan seseorang yang bisa menenangkan dirinya.
Bagaimana kalau kamu duduk di pangkuannya sementara
aku menyetubuhi mama kamu?”
Winda terkejut mendengar perkataan Jono, namun juga
sedikit tergoda. Apakah ia benar-benar ingin menyaksikan
pemerkosaan atas ibunya? Sebagian dari dirinya
menginginkan untuk menyaksikannya. Membayangkan
dirinya melihat seseorang berhubungan seks secara langsung
dari dekat membuat hatinya gamang. Lalu masalah ayahnya.
Winda mencintai ayahnya tetapi ia tidak pernah melihatnya
dalam keadaan telanjang terlebih lagi duduk di
pangkuannya saat ayahnya bertelanjang bulat. Lalu
mengapa ia menjadi basah dengan memikirkan semua ini?
Betapa menjijikannya hal itu? Namun demikian perkataan
Jono terus terngiang-ngiang di telinganya, “Apapun yang
terjadi malam ini, kamu dapat dengan mudah memberi
alasan: ‘Aku tidak punya pilihan lain’.
Dengan anggukan yang nyaris tidak terlihat, Winda bangkit
berdiri dan menghampiri ayahnya. “Maafkan aku, pa,”
Winda berbisik kepada Ricky. Lalu ia duduk di
pangkuannya.
Sementara itu Lusi mempersiapkan dirinya di WC ditemani
oleh Dony. Lusi pernah mencukur bulu kemaluannya waktu
kuliah namun waktu itu sudah lama berlalu. Situasi di mana
ia harus mencukur bulu kemaluannya disaksikan oleh pria
asing, sungguh memalukan Lusi. Ia menyelesaikannya
secepat mungkin karena ingin segera kembali ke kamar.
Lusi tidak dapat mempercayai Jono seorang diri menemani
anak dan suaminya.
Ketika keluar dari WC, Lusi terkejut mendapati putrinya
sedang duduk di pangkuan suaminya yang terikat dalam
keadaan telanjang bulat. Rona merah di pipi Winda
menunjukkan bahwa semua ini bukan berdasarkan
keinginannya. “Binatang keparat!” pikir Lusi. Jono benar-
benar gila.
“Mari kita lihat hasil pekerjaanmu, Lusi,” ejek Jono dengan
semangat.
Dengan wajah yang merah padam, Lusi menggeser
tangannya dari selangkangannya dan memperlihatkan
kemaluan yang licin tanpa bulu.
“Nah, ini yang aku maksud,” Jono berkata, “Cantik,
sungguh-sungguh cantik!”
Jono menoleh ke Ricky dan berkata, “Rick, begini cara yang
benar memelihara seorang pelacur. Lihat, dia memiliki
vagina seorang gadis dan payudara seorang wanita. Tidak
ada yang lebih baik dari ini. Kalau aku jadi kau, aku akan
menyuruhnya untuk tetap seperti ini setiap hari. Beri tahu
aku, Rick. Apakah pelacurmu ini tahu caranya menghisap
batang laki-laki?”
Ini sudah keterlaluan bagi Ricky. “Bangsat! Keparat kau!!”
“Ck, ck, ck…. Bukan begitu caranya berbicara dengan
tamu,” ejek Jono.
Jono menjambak rambut Lusi dan bertanya, “Bagaimana,
Lusi? Apa kamu penghisap penis yang hebat?”
Oral seks memang mendapat porsi yang besar di dalam
kehidupan seks Lusi dan Ricky. Ricky selalu memuji Lusi
atas kemahirannya menghisap penis. Bagi Ricky, Lusi
adalah penghisap yang terbaik yang pernah ia tahu. Dengan
pengalaman yang terbatas, kini Lusi harus melakukannya
dengan pria ini. Memikirkan dirinya harus menggunakan
mulutnya untuk memuaskan Jono membuat Lusi menjadi
jijik. Jika Jono tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya
dengan baik, mungkin ia akan mengurungkan niatnya.
“Kata Ricky aku tidak becus dalam hal itu. Kami jarang
sekali melakukannya. Katanya gigiku sering menyakitinya,”
jawab Lusi.
Jono tersenyum sendiri. Ia tidak mempercayai perkataan
Lusi sama sekali. Tidak ada laki-laki yang akan berkata
kepada istrinya bahwa ia tidak becus dalam oral seks.
Bahkan laki-laki bodoh pun akan mendorong istrinya untuk
terus berusaha untuk menjadi semakin baik dalam
melakukan oral seks.
“Tidak menjadi masalah, Lus. Aku tahu aku dapat
mengajarimu. Mungkin perlu semalaman untuk itu namun
aku yakin kamu akan menyandang predikat Penghisap Penis
Terbaik malam ini. Kalau masalahnya terletak pada gigimu,
aku dapat merontokkan semua gigimu. Bagaimana, Don?
Apakah kau siap mengajari Lusi cara berkumur sperma?”
Sejak masuk ke rumah itu, Dony sudah terpikat oleh
kecantikan Lusi. Bayangan Lusi yang berlutut di
hadapannya sambil menghisap penisnya tentu sangat
menarik hatinya.
Dengan putrinya duduk di pangkuannya, Ricky meronta
untuk lepas dari ikatannya. “Keparat kau! Lepaskan
istriku!”
“Memangnya kau punya wewenang apa, hah?! Aku
berencana untuk memakai semua lubang yang istrimu miliki
dan kau akan menonton semuanya. Sana bercengkrama
dengan putrimu dan nikmati pertunjukan ini.”
Jono menjambak rambut Lusi dan kembali memberi
perintah, “Kalau kau tahu apa yang terbaik buat dirimu, kau
akan menarik keluar penisku dan mulai membuatnya
basah.”
Lusi tahu inilah saatnya. Ia menenangkan dirinya untuk
melakukan apa saja yang diperlukan untuk menyelamatkan
keluarganya. Dengan gemetar Lusi menurunkan resleting
celana Jono. Saat ia meraih masuk ke dalam celana itu,
tangannya tertahan oleh sesuatu.
“Ayo, keluarkan!” perintah Jono.
Jari-jari Lusi meraba tonjolan itu dan ia baru menyadari
bahwa yang ia raba tak lain adalah penis Jono. Ya ampun,
penisnya besar sekali!!
“Kelihatannya kamu memerlukan bantuan,” kata Jono
sambil tersenyum. Jono membuka celananya lebih lebar dan
membiarkan penis itu melompat bebas ke luar. Walau hanya
dalam kondisi setengah ereksi, besar penis Jono hampir dua
kali lipat penis suaminya.
Panjang penis itu kira-kira 15 cm dan sangat tebal sampai
jari-jari tangannya tidak dapat melingkari batang penis itu.
Jono menanggalkan celananya lalu meletakkan tangannya di
pundak Lusi. Ia menekan pundak itu agar Lusi berlutut di
depannya. “Mungkin ini sedikit lebih besar dari yang biasa
kau tangani, Lus. Tapi kalau kau berkonsentrasi, aku tahu
kamu pasti bisa membuatku senang.”
Winda pun kaget melihat penis Jono. Penis Jono jauh lebih
besar dari penis Tommy. Ia bahkan tidak menyangka ada
penis sebesar itu. Penglihatan tersebut membuat Winda
beringsut dari duduknya dengan gelisah. Dan hal ini juga
memberi dampak tersendiri kepada ayahnya.
Melihat istrinya berlutut di depan penis yang besar itu
membuat penisnya sendiri menjadi hidup. Kenyataan bahwa
anak gadisnya bergerak-gerak di pangkuannya bahkan
memperburuk situasi.
Winda tersentak diam dan menahan nafasnya saat ia
merasakan penis ayahnya mulai membesar dan mengeras.
Hal ini membuat dirinya diam tak bergerak sedikitpun.
Mata Jono dan Winda saling bertemu lalu Jono tersenyum.
Apapun yang terjadi malam ini, dapat dengan mudah
‘dibenarkan’ dengan memberi alasan: ‘Aku tidak punya
pilihan lain’. Winda terus mengulang-ulang kalimat itu
dalam otaknya. Winda mengatur posisi duduknya sehingga
penis ayahnya yang sudah mengeras bersemayam di belahan
pantatnya. Lalu ia mengelos, tidak berani menatap Jono.
Sementara itu Lusi berhadapan-hadapan dengan penis
terbesar yang pernah dilihatnya. Bayangan dirinya
menghisap penis itu membuatnya merasa jijik namun juga
mengundang rasa ingin tahu.
Jono menjambak rambut Lusi ke belakang untuk memaksa
Lusi untuk membuka mulutnya, “Bilang ‘AAAAAH’!”
Lusi membuka mulutnya. Lalu Jono menaruh kepala
penisnya ke dalam mulut Lusi. Rasanya seperti menelan
ujung pemukul bola baseball.
“Rileks, Lus. Aku tahu kamu pasti bisa,” kata Jono sambil
terkekeh.
“Mungkin memerlukan waktu semalaman tapi aku tahu
kamu pasti bisa memasukkan seluruhnya ke dalam
mulutmu,” sambungnya lagi.
Mendengar perkataan itu Lusi mulai panik. Lusi mencoba
untuk menarik mundur kepalanya, namun tangan Jono
menahan kepalanya untuk bergerak.
“Sssttt, rileks saja, Lus. Kalau kau melawan, kau hanya
akan memperburuk keadaan. Sekarang buka mulut kamu
lebih lebar dan bilang ‘AAAAAH’”.
Lusi sadar bahwa keadaan tidak akan berpihak pada dirinya.
Air mata mulai menggenangi matanya sementara ia
berusaha memasukkan sisa batang penis tersebut ke dalam
mulutnya yang kecil.
Akhirnya Lusi menarik mundur kepalanya dan melepaskan
penis itu. Jono berkata, “Keterlaluan! Kalau aku harus
mengajari dari awal lagi, lebih baik aku mengajari Winda
untuk melakukannya!”
Mendengar hal itu Winda merasakan tubuhnya mencair.
Cairan dari vaginanya mulai merembes keluar dan
membasahi celana dalamnya. Rasa hangat yang tiba-tiba
keluar di sekitar kemaluan Winda itu dirasakan pula oleh
ayahnya.
“Ya ampun!” pikirnya, “Hal ini membuatnya terangsang!
Putriku terangsang karena melihat binatang-binatang ini
memperkosa ibunya sendiri!”
Ketika Winda menaruh belahan pantatnya ke atas penis
ayahnya, Ricky tersadar kalau ia pun ikut terangsang.
“Ada apa dengan diriku?” pikirnya. “Istriku sedang
diperkosa dan putriku yang berumur 15 tahun duduk di
pangkuanku malah membuatku berereksi??”
Lusi menanggapi ancaman Jono dengan menggenggam
penis Jono dan memaksa dirinya untuk tersenyum. “Tidak,
tidak. Aku bisa melakukannya. Aku hanya belum terbiasa
dengan ukurannya yang sangat besar. Aku akan mencobanya
lagi.”
Jono tahu ancamannya berhasil. Lusi takut kalau-kalau ia
malah mengincar Winda yang sebenarnya ingin ia lindungi.
Jono melirik Winda yang masih duduk dengan gelisah di
pangkuan ayahnya. Ia tahu bahwa Winda ingin mencicipi
penisnya, namun ia masih ingin bermain-main dengan Lusi
terlebih dahulu.
“Oke pelacur, kamu mendapat satu kesempatan lagi. Buka
mulutmu!” Jono menggenggam penisnya dan tangannya
yang lain menekan belakang kepala Lusi.
Saat ia menekan kepala penisnya masuk, Jono merasakan
lidah Lusi membalur penisnya secara refleks. “Nah begitu,
dong. Pakai lidahmu! Jilat yang enak dan basah!”
Jono menoleh ke arah Winda dan Ricky lalu berkata, “Boleh
juga servisnya. Tapi jelas dia belum terbiasa dengan laki-
laki tulen. Bagaimana tontonannya?”
Mendengar omongan kotor Jono, membuat tubuh Winda
meleleh sekali lagi. Cairan dari vaginanya kembali
merembes ke luar. Jono melihat mata Winda berkedip-kedip
sesekali dan tubuhnya sedikit gemetar.
“Winda buka celana dalam kamu!”
Mendengar hal ini, Winda langsung mematung. Duduknya
yang dari tadi gelisah langsung terdiam. Sementara Ricky
hanya menatap ke lantai tak berdaya. Dony tahu bahwa
pesta baru saja dimulai.
“Kamu tuli, yah? Aku mau celana dalammu. Tanggalkan
celana dalammu lalu serahkan ke Dony.”
Dengan gerakan yang lambat, Winda berdiri dari pangkuan
ayahnya dan mulai menurunkan celana dalamnya yang
sudah lembab basah itu. Matanya menatap lantai lekat-lekat
saat Winda menyerahkan celana dalam itu kepada Dony.
Wajahnya menjadi semakin merah menyala.
Dony menghampirinya dan meraih celana dalam itu.
Basahnya celana dalam itu menjadi suatu bukti. Dony
mendekatkan celana dalam itu ke wajahnya lalu menghirup
aroma khas wanita yang keluar dari celana dalam itu. “Gila,
celana dalamnya basah, Jon! Perempuan ini banjir dan
membuat celana dalamnya basah kuyup!”
“Aku tahu,” Jono tersenyum, “sekarang kamu kembali
duduk di pangkuan papa, Win!”
Tanpa celana dalamnya, Winda tidak dapat lagi
menyembunyikan gejolak yang semakin berkembang dalam
dirinya. Winda memberikan tatapan memelas kepada Jono
tetapi Jono hanya menunjuk ke arah ayahnya dengan
menggunakan kepalanya. “Duduk di sana sementara aku
mengajari mamamu bagaimana memberi servis dengan
benar.”
Jono memberikan perhatiannya kembali kepada Lusi. Winda
berputar membelakangi ayahnya lalu duduk di
pangkuannya. Tidak dapat ditutupi lagi, penis ayahnya
sekarang sudah sekeras batu. Setelah mengatur posisi
duduknya, Winda dapat merasakan penis ayahnya
berdenyut-denyut pada bibir vaginanya yang basah.
“Gerakan lidahmu sudah bagus, tapi kamu harus
memasukkannya lebih dalam lagi,” terdengar Jono memberi
petunjuk kepada Lusi sambil menahan kepala Lusi dengan
kedua tangannya lalu mulai menekan penisnya lebih masuk
ke dalam mulutnya.
Saat kepala penis itu memaksa masuk lebih dalam, Lusi
berusaha menahannya dengan lidahnya. Dengan satu
tangannya Jono menjepit hidung Lusi untuk menahan
masukan udara ke dalam paru-parunya. Lusi menjadi panik.
Saat Lusi membuka mulutnya lebih lebar lagi untuk
mengambil nafas, Jono menekan penisnya dengan mantap
masuk sampai ke ujung tenggorokan Lusi. Air mata sudah
berkumpul di pelupuk mata Lusi. Paru-parunya terasa
terbakar karena kehabisan udara. Jono memperhatikan
wajah Lusi dan di saat-saat terakhir ia menarik penisnya
sedikit sehingga Lusi dapat bernafas dari sela-sela mulut dan
penisnya.
Jono merasakan aliran udara sejuk membasuh batang
penisnya. Lalu ia menekan masuk kembali penis itu ke
tengorokan Lusi. Ketika ia menarik keluar penisnya lagi,
Jono mendengar Lusi tersedak. “Bagus, bagus. Aku suka
mendengar suara itu.”
Lendir dan ludah meleleh dari mulut Lusi dan berkumpul di
dagunya. Air matanya sudah penuh menggenangi matanya
dan rambutnya menempel di keningnya karena keringat
yang bercucuran.
Jono memegang dagu Lusi dengan satu tangannya dan
tangannya yang lain memegang bagian belakang kepala
Lusi. Dengan menggunakan mulut Lusi bak layaknya
sebuah vagina, Jono menggenjot penisnya keluar masuk
tenggorokan Lusi. Lusi terus menerus tersedak namun Jono
tidak memperdulikannya.
“Ini baru namanya hisapan yang benar. Awalnya memang
biasa saja, tapi lama kelamaan dia semakin jago. Don, kamu
mau mencobanya?”
Setelah melihat pertunjukan itu, Dony bisa bersetubuh
dengan batu. Wajah Lusi tampak berantakan dan tidak
karuan. Rambutnya yang basah oleh keringat menempel dan
menutupi sebagian wajahnya. Lendir dan ludah membasahi
mulutnya dan menggelantung di dagunya.
Jono menjambak rambut Lusi lalu mendorongnya ke arah
Dony.
“Ayo tunjukkan kepada Dony apa yang sudah kau pelajari!”
Lusi merangkak menghampiri Dony yang sudah
mengeluarkan penisnya.
Jono berkata kepada Ricky, “Perempuan itu benar-benar
penghisap penis yang luar biasa, bung! Ia hanya butuh
sedikit imbalan.”
Jono melirik ke selangkangan Winda dan mendapati penis
Ricky yang sudah mencapai besar dan kekerasan maksimal
itu sedang menikmati keberadaannya di tengah-tengah
belahan pantat putrinya.
“Aku senang kau menikmati pertunjukan kami,” kata Jono.
Jono menatap mata Winda dalam-dalam, lalu mendekatkan
wajahnya dan mencium bibirnya.
Pada awalnya karena terkejut dicium tiba-tiba, Winda hanya
diam tak bergerak. Namun setelah lidah Jono membalur
bibirnya, perlahan-lahan Winda membuka mulutnya dan
menerima permainan lidah Jono.
Setelah Winda memberi respon atas ciumannya, Jono
meraih selangkangan Winda dan mulai menggesek-gesekkan
jarinya ke vagina Winda yang sudah sangat basah itu.
Winda mengerang dan mendesah dalam mulut Jono.
Lalu Jono memasukkan pertama-tama jari telunjuknya lalu
berikutnya jari tengahnya juga masuk ke dalam vagina
Winda. Jari-jari Jono basah oleh cairan yang diproduksi
oleh tubuh Winda. Jono meraih lebih ke bawah dan
merasakan penis Ricky yang berdenyut. Jono menghentikan
ciumannya lalu memandang Ricky lewat bahu Winda.
Kedua mata Ricky dalam keadaan tertutup.
Dengan tangan kanannya Jono mengangkat pantat Winda
sedikit ke atas. Dalam satu gerakan yang cepat dengan
tangan kirinya, Jono menempatkan kepala penis Ricky ke
mulut bibir vagina Winda yang amat basah itu. Setelah itu
Jono melepaskan tangan kanannya dan membiarkan tubuh
Winda kembali ke posisi semula.
Hal ini berakibat penis Ricky yang sudah berada di depan
bibir vagina Winda amblas masuk ke dalam liang
kewanitaan putrinya sendiri. Langsung saja Ricky mendelik
dan matanya terbelalak; Mulut Winda membentuk huruf O
dengan bulat yang sempurna.
Jono tergelak, “Jika kalian berdua berusaha diam tidak
bergerak sama sekali, mungkin papa tidak sampai
menyemprotkan spermanya ke dalam vaginamu. Tapi jika
sampai hal itu terjadi, mungkin papamu akan juga sekaligus
menjadi kakek dari bayi itu.”
Setelah itu Jono kembali mengecup dalam-dalam bibir
Winda lalu kembali menghampiri Lusi dan Dony.
Lusi sudah belajar banyak. Walau tidak sebesar Jono, penis
Dony masih jauh lebih besar dari penis suaminya. Lusi
sudah dapat menyesuaikan dirinya dan Dony dengan lancar
menggenjot penisnya keluar masuk tenggorokannya.
Beberapa kali Lusi tersedak namun semuanya dapat ia atasi
dengan baik.
Genangan air liur berkumpul di lantai di bawah penis Dony.
“Lebih baik bersabar dulu, Don. Kamu masih mau
mencobai vaginanya, kan?”
Dony tersadar bahwa ia mungkin saja sudah cukup senang
dengan menyemprotkan spermanya ke dalam tenggorokan
Lusi namun kenyataannya mereka masih punya banyak
waktu semalaman.
“Lusi, naik ke ranjang!” perintah Jono. Lusi menuruti
perintah itu setelah melap mulutnya dengan punggung
tangannya. Ia mulai merangkak naik ke atas ranjang. Jono
meraih pergelangan kaki Lusi dan memposisikannya
sehingga suaminya dapat melihat vaginanya dengan jelas.
Walau Winda tidak benar-benar berhenti menggeliat-geliat
dalam duduknya, Jono melihat Winda senantiasa berusaha
untuk duduk diam di atas pangkuan ayahnya sementara
penis ayahnya terbenam di dalam vaginanya. Mata Winda
menatap vagina ibunya lekat-lekat.
“Aku benar-benar suka dengan vagina yang mulus tak
berbulu,” kata Jono memberi tahu. “Ia terlihat seperti anak
kecil dengan payudara, bukan?" Memang vagina Lusi
terlihat benar-benar menggoda.
Jono menjulurkan tangannya dan menyusupkan jari
tengahnya ke dalam vagina itu. Jono sangat terkejut
mendapatkan liang perempuan ini masih kering. Mungkin
Lusi tidak menyukai perlakuan kasar seperti yang Jono kira.
Atau mungkin Lusi takut terhadap apa yang kedua pria ini
akan perbuat atas dirinya. Apapun penyebabnya masalah ini
harus diatasi. Jono menginginkan vagina yang licin untuk
dipakai.
“Kelihatannya kau perlu dipoles, Lusi. Aku tidak mau
memakai vagina kering. Apa yang harus kita lakukan untuk
mempersiapkan dia, Don? Kau ada ide?”
Dony tahu Winda sejak tadi sudah memperhatikan vagina
ibunya dengan seksama. “Mungkin anaknya bisa
membantu,” kata Dony sambil tersenyum.
Ini merupakan ide yang bagus, pikir Jono. Mungkin
memang benar bahwa Winda dapat membantu memecahkan
masalah ini. Jono menghampiri Winda lalu mengulurkan
tangannya kepada Winda. Walau tidak yakin apa yang
sedang terjadi, Winda meraih tangan Jono.
Dengan perlahan Jono menarik Winda dari penis ayahnya
yang berdenyut-denyut. Jono menatap mata Winda dalam-
dalam. “Aku mau kau menjilati vagina mama kamu, Win.”
Winda tidak dapat mempercayai pendengarannya. Ia bukan
seorang lesbian dan lagipula ini ibunya sendiri! Winda
mulai menggeleng-gelengkan kepalanya dan bergerak
mundur.
“Ingat apa yang aku katakan tadi, Win. Aku tidak menerima
bantahan. Kalau kamu tidak melakukannya, aku akan
menyakiti papa kamu.”
Untuk membuktikan ucapannya, Jono menghampiri Ricky,
mencengkram buah zakarnya lalu menariknya keras-keras.
Ricky melolong sejadi-jadinya. Mendengar jeritan ayahnya,
Winda menangis, “Stop. Aku akan menurut. Jangan sakiti
dia!”
“Bangsat kalian!!” maki Ricky. “Kalian berjanji untuk
membiarkan anakku!”
“Ah diam kau!” balas Jono. “Waktu tadi penismu berada di
dalam pelacur ini kamu tidak protes sama sekali! Jadi tutup
mulutmu!”
Mendengar Jono menyebut dirinya sebagai pelacur, hati
Winda menjadi panas. “Aku bukan pelacur!”
Dengan senyum yang dingin Jono menatap Winda dan
berkata, “Kamu akan menjadi pelacur malam ini. Ayo
sekarang ke sana dan kerjakan apa yang aku perintahkan.”
Winda bukan perempuan murahan. Winda baru
mengijinkan pacarnya meraba payudaranya setelah mereka
berdua cukup lama berpacaran. Walau demikian ia tidak
dapat memungkiri timbulnya perasaan yang berbeda saat
berada di bawah tekanan kedua pria ini. Saat Jono
memasukkan penis ayahnya sendiri ke dalam vaginanya, ia
memang merasakan kenikmatan. Dan juga melihat vagina
ibunya yang tercukur bersih membuat mulutnya berair.
Winda juga bukan seorang lesbian walau ia pernah
mempunyai pengalaman dengan seorang perempuan.
Sebenarnya itu bukan hal yang serius, hanya perbuatan yang
sedikit di luar kendali. Kejadian itu terjadi saat Winda
menginap di rumah temannya (perempuan). Mereka
berdiskusi tentang bagaimana mereka berciuman dengan
pacar-pacar mereka. Cerita demi cerita dan tanpa sadar
berlanjut menjadi saling mempraktekkan ciuman itu. Jadi
itu hanya sebatas saling berciuman dengan teman
perempuannya.
Namun karena beberapa alasan, pemandangan vagina ibunya
di hadapannya membuat Winda terangsang saat itu.
“Sudah saatnya kamu menanggalkan semua pakaianmu
juga, Win,” kata Jono. “Lagipula, hanya kau yang masih
mengenakan pakaian,” Jono menjelaskan.
Lusi langsung menyela, “Jangan! Biarkan dia. Kalian sudah
berjanji!”
Jono mengayunkan tangannya ke wajah Lusi. Suara
tamparan yang keras memenuhi kamar.
“Tutup mulutmu!” kata Jono, “Ini semua salahmu. Kalau
vaginamu tidak kering, kita tidak perlu bantuan Winda,
bukan?”
Lusi terisak. Tidak mungkin mengendalikan kedua pria ini.
Mereka akan melakukan apa saja yang mereka inginkan dan
satu-satunya harapan Lusi dan keluarganya hanya menuruti
keinginan mereka agar mereka dapat melewati malam itu.
Lusi tahu dalam hatinya bahwa tidak ada penghinaan yang
dapat menghancurkan dirinya dan keluarganya. Namun saja,
malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.
Dengan menjambak rambutnya, Jono menarik Winda
mendekat ke pinggir ranjang. Lusi memandang putrinya
dengan air mata bercucuran dan berusaha untuk
menenangkannya. “Tidak apa-apa, sayang. Mama tahu
kamu tidak punya pilihan lain. Kita akan melewati ini
semua bersama-sama, oke?” Lusi memandang melewati
bahu Winda dan pandangannya jatuh ke suaminya. Lusi
melanjutkan, “Kita semua pasti bisa.”
“Aahhh, manisnya,” ejek Jono. “Bagaimana pemandangan
dari sana, bung? Wah, tidak bisa seperti ini nih. Kepala
Winda menutupi semuanya.”
Jono meraih kaki Lusi dan memutar tubuhnya menyamping
sehingga vaginanya mengarah ke sudut ranjang. Sambil
menuntun Winda mengitari ranjang, Jono bertanya dengan
lantang, “Apakah kamu pernah mengoral vagina?”
“Tentu saja tidak!” kata Winda dengan suara yang hampir
berteriak. “Aku bukan lesbian!”
Jono tersenyum. Winda mungkin bukan seorang lesbian tapi
terlihat rasa haus yang tidak dapat ditutupi dalam tatapan
Winda pada kemaluan ibunya yang mulus.
“Yah, kamu tidak perlu menjadi seorang lesbian untuk
mengoral vagina. Semua perempuan melakukannya setiap
saat. Memangnya kamu tidak pernah menonton film porno?
Tugasmu sekarang adalah mempersiapkan mama kamu
untuk menerima penisku. Gampang, bukan? Ayo pasang
muka kamu di sana dan mulai jilati bibir vagina itu.”
Winda memandang ibunya dan berbisik, “Maaf, ma.”
Ibunya mengangguk dan menjawab, “Aku mengerti.”
Winda menatap vagina ibunya lalu menyentuh bibir
kemaluan itu dengan tangannya. Lusi gemetar saat ia
merasakan sentuhan itu. Winda merasakan lembutnya
vagina Lusi.
“Bagus, Win,” Jono memberi semangat sambil mendorong
Winda mendekat ke ibunya, “Ayo beri ciuman.”
Winda belum pernah berada sedekat ini dengan kemaluan
perempuan selain dari miliknya sendiri. Wangi vagina
ibunya lebih pekat dari vaginanya.
Wajah Jono berada tepat di samping telinganya dan berkata,
“Cium seperti kau mencium aku tadi. Banyak pergunakan
lidah… iya, begitu.”
Winda telah memulai tugasnya dan semakin lama terlihat
semakin terbiasa.
“Usap klitorisnya dengan ibu jarimu… Jangan hentikan
permainan lidahmu. Nah begitu. Permainkan ritme jilatan
dan usapanmu,” lanjut Jono.
Ibunya terasa sedikit asin namun tidak sepekat wanginya.
Winda menusuk vagina ibunya dengan lidahnya seakan
mencari cairan yang menghasilkan wangi pekat itu.
Sementara itu tubuh Lusi tidak dapat menolak efek yang
timbul atas apa yang dilakukan Winda. Lidah putrinya
terasa sangat menakjubkan. Dan ibu jari Winda yang
menari-nari pada klitorisnya mulai membuahkan hasil yang
ditunggu-tunggu oleh kedua pria tersebut. Setelah beberapa
saat meneruskan permainan lidah dan jarinya, Winda
dihadiahi dengan rembesan cairan akibat dari vagina Lusi
yang mulai melubrikasi.
Keheningan dalam kamar terpecahkan oleh suara berkecipak
basah dari usaha Winda mengoral ibunya. Jono
mengedipkan mata ke Dony lalu ia menuntun gerakan
kepala Winda dari gerakan atas-bawah menjadi gerakan
kanan-kiri.
“Masukkan jari tengahmu ke dalam vaginanya, Win.
Pertemukan ibu jari dan jari tengahmu di antara dinding
vaginanya,” perintah Jono. Perintah yang baru saja Jono
berikan akan memberi efek terstimulasinya G-Spot Lusi.
Winda menuruti perintah Jono dan membuahkan hasil
desahan lirih yang keluar dari mulut Lusi. Jono dan Dony
tersenyum lebar ‘melihat’ hasil yang memuaskan mereka.
Kemudian Jono menjamah pantat Winda dan mulai
mengelus, meraba, meremas bulatan pantat itu. Jono
menyempatkan jarinya untuk menerobos masuk ke vagina
Winda. Winda mengeluarkan lenguhan panjang akibat
perbuatan Jono ini.
“Nah begitu, jilat terus. Dia semakin basah, kan, Win?”
tanya Jono.
Winda menjawab dengan erangan. Wajah Winda yang
belepotan basah merupakan bukti atas basahnya vagina Lusi.
Vagina Winda yang memang sudah basah sejak tadi
sekarang terasa panas membara lantaran permainan jari-jari
Jono.
Jono memandang Ricky dan mendapati penis Ricky yang
kecil sudah berereksi sampai besar yang maksimal.
“Putrimu penjilat vagina yang hebat, bung. Mungkin kau
bisa pergunakan sebagai modal di masa depan,” ejek Jono.
Ricky tidak dapat melepaskan pandangannya dari Winda
yang sedang sibuk menjilati vagina istrinya. Dengan rambut
yang menempel di wajahnya karena lepek oleh cairan
vagina, kepala Winda bergerak maju mundur, kanan kiri,
atas bawah menyerang vagina Lusi. Sementara itu jari-jari
Winda tidak henti-hentinya menari-nari pada klitoris Lusi.
Kedua wanita ini mengeluarkan desahan-desahan dari mulut
mereka. Ricky dapat melihat dengan jelas cairan yang
keluar dari vagina putrinya sementara Jono mengocok jari-
jarinya keluar masuk tubuh Winda. Penisnya sendiri sudah
sangat keras bahkan terasa menyakitkan karenanya.
Jono mendorong Winda ke samping dan kedua wanita itu
mengeluarkan erangan seakan memprotes. Jono berlutut di
antara paha Lusi dengan penisnya yang besar berdenyut-
denyut seperti monster yang hidup.
“Bagus, Win! Vaginanya sekarang sudah basah, bahkan
boleh dibilang: banjir!”
Jono menarik wajah Winda mendekat wajahnya lalu
menciumnya. Segera saja ia dapat merasakan lidah Winda
mencoba untuk melilit lidahnya. Jono dapat mencium dan
merasakan vagina Lusi pada bibir Winda. Mengetahui
bahwa dirinya yang mendalangi semua ini membuat dirinya
terangsang. Jono menghentikan ciumannya lalu meraih
tangan Winda dan meletakkannya di atas penisnya yang
sudah mengeras.
“Mama kamu tidak terbiasa dengan penis sebesar ini.
Mungkin kau bisa membantu dengan memasukkannya ke
dalam vagina mama,” kata Jono.
Winda belum pernah memegang penis sebesar itu. Penis di
tangannya terasa hidup bergerak-gerak, bahkan kelihatannya
seperti sedang bernafas. Winda dapat merasakan denyutan
konstan saat ia memegang penis itu. Ia tidak dapat menutup
lingkaran penis itu dengan jari-jarinya dan penis itu terasa
berat. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari penis Jono.
Dengan dituntun tangan Jono, Winda mulai mengocok
penisnya. Cairan pelumas sebesar butiran mutiara akhirnya
keluar dari kepala penis Jono lalu meleleh ke tangan Winda.
Jono membantu Winda untuk mengoles cairan itu ke
permukaan penisnya.
“Sekarang arahkan penisku, Win. Nah begitu, dorong
masuk kepala penisku ke dalam vagina mama kamu.”
Penis itu terlihat sangat besar dibanding vagina ibunya yang
kecil. Sudah pasti tidak akan muat. Winda mulai khawatir
akan ibunya. Penis ini sudah pasti akan merobek vaginanya.
Belum lagi kepala penis Jono masuk sepenuhnya, Winda
dapat melihat ibunya sudah meringis menahan sakit. Jono
mendorong pinggulnya agar penisnya masuk lebih jauh
namun masih saja tertahan.
“Gila, Rick, perempuan ini rapat sekali! Sudah jelas dia
tidak terbiasa bersanggama dengan penis ukuran pria tulen.
Tapi jangan khawatir, dengan bantuan Winda semua pasti
beres.”
Dalam keheningan tiap orang dalam kamar itu dapat
mendengar suara seperti letupan lembut saat kepala penis
Jono masuk menembus bibir vagina Lusi yang sudah terasa
panas membara.
“Oh!” Lusi mendesah. “Pelan-pelan, penis ini besar sekali.
Beri aku waktu untuk menyesuaikan diri,” kata Lusi lagi.
Pikiran Lusi berpacu. Ia merasa tubuhnya penuh terisi dan
ia baru menerima kepala penisnya saja. Bagaimana mungkin
ia dapat menerima seluruh penisnya masuk ke dalam
tubuhnya. Sudah pasti tidak bisa.
Jono merasakan hangatnya dinding vagina Lusi
membungkus rapat kepala penisnya. “Mainkan buah
zakarku, Win. Nah begitu. Ya, seperti itu terasa enak.”
Buah zakar Jono sama besarnya dengan penisnya. Winda
tidak dapat menggenggam keduanya dengan hanya satu
tangan, namun tetap saja Jono menyukai pijatan tangan
Winda yang mungil itu.
“Beri dia tambahan penis lagi Winda,” perintah Jono.
Winda menggenggam batang penis Jono dan mencoba untuk
mendorongnya masuk lebih dalam lagi ke dalam vagina
ibunya. Winda dapat mendengar ibunya mengerang
menahan sakit, namun kebutuhan Jono tidak dapat
diacuhkan. Ia telah sabar menunggu sejak tadi. Dan Jono
ingin merasakan buah zakarnya menampar-nampar pantat
Lusi sekarang.
Dengan menaruh seluruh berat badannya ke penis itu, Jono
mendorong penisnya masuk lagi sekitar 3 cm. Jono menarik
keluar batang kemaluannya sampai sebatas ujung kepala
penisnya lalu menancapkannya masuk lagi lebih dalam 4
cm.
“Ayo, sudah setengah jalan,” kata Jono penuh kepuasan.
“Aku tahu kau pasti bisa, Lusi!”
Setiap kali Jono menggenjot penisnya keluar masuk tubuh
ibunya, Winda melihat semakin banyak bagian penis Jono
yang terbenam masuk vagina tersebut. Ia sudah melepaskan
tangannya dari penis Jono dan kini hanya terpekur melihat
pemandangan itu tepat di depan mukanya.
Ibunya mendesah setiap kali Jono mendorong masuk penis
itu dan pandangan Jono melekat pada titik pertemuan antara
penisnya dan vagina Lusi. Dan dengan satu dorongan
terakhir, tiap orang di dalam kamar itu dapat mendengar
suara buah zakar Jono menampar pantat Lusi.
Jono menghela nafas dan menahan gerakannya. Ia
membiarkan batang penisnya bermandikan hangatnya
dinding vagina tersebut. Jono dapat merasakan dinding
vagina Lusi seakan memijat-mijat penisnya seperti jari-jari
kecil yang berusaha menarik penis itu masuk lebih dalam
lagi.
Dengan menarik leher Winda, Jono membawa wajah Winda
mendekat lalu menciumnya dalam-dalam sementara ia terus
menggenjot penisnya keluar masuk tubuh ibunya. Saat ia
merasakan tangan Winda menyentuh lehernya, Jono sadar
bahwa ia sudah menang. Winda suka dengan hal seperti ini,
sangat suka malah. Sekarang tangan Winda membelai
rambut Jono sementara lidah Jono bergerilya di dalam
mulut Winda.
Jono melepaskan ciumannya dengan Winda agar dapat lebih
berkonsentrasi pada perempuan yang sedang disetubuhinya.
Liang kewanitaan Lusi sangat rapat namun tubuhnya sudah
melubrikasi demikian banyaknya. Dengan hentakan panjang
dan keras Jono menggenjot panggulnya dan setiap kali
mendorong penisnya masuk, Jono seakan memaksa udara
keluar dari paru-paru Lusi. “Homph! Humph! Humph!”
Lusi sudah tidak lagi memberikan perlawanan, ia hanya
membiarkan Jono melakukan tugasnya. Pantat Lusi
bergerak-gerak dalam gerakan melingkar kecil yang
membuat penis Jono menyentuh berbagai bagian dari
vaginanya.
Lusi terus mendesah-desah sekarang dan tidak dapat
dipungkiri ia sedang menanjak menuju klimaks. Vagina
Lusi terasa sangat nikmat sehingga Jono juga merasakan
perasaan yang berkumpul di buah zakarnya yang siap
meledak dalam sebuah orgasme. Namun belum saatnya.
Jono menarik keluar penisnya dari dalam tubuh Lusi dan ia
mendengar Lusi berbisik lemah, “Tidak…, jangan
berhenti… Aku sudah hampir…”
“Jangan khawatir, Lusi. Kau akan mendapatkannya namun
aku masih ingin bermain-main sejenak. Don, bantu aku.
Beri perempuan ini penismu.”
0 komentar:
Posting Komentar