Diberdayakan oleh Blogger.

Ngentot Istri Sepupuku

Kamis, 08 November 2012


Pesta pernikahan kakak sepupuku, Mas Bud, dapat dikatakan sangat meriah dan sangat mewah. Dia memang sangat beruntung, perawakannya yang over size dengan perut yang mirip gentong itu tidak menghalanginya untuk menikahi Mbak Nin, seorang wanita yang sangat cantik dengan body yang sangat aduhai. Aku pun heran, kenapa wanita secantik Mbak Nin yang memiliki tubuh langsing dengan tinggi 170 cm itu mau menikahi Mas Bud. Apa mungkin karena kekayaan Mas Bud? Tapi masa bodohlah, yang pasti mataku selalu tidak bisa lepas dari Mbak Nin, dan otakku pun sibuk memikirkan sesuatu yang sangat nakal.
Seperti biasa, setiap 2 bulan sekali diadakan petemuan keluarga. Karena keluarga kami merupakan keluarga yang sangat besar. Setiap pertemuan keluarga, aku selalu berusaha untuk mencuri pandang, kecantikan dan kemolekan tubuh Mbak Nin yang sempurna itu memang membuatku jatuh cinta dan sangat bernafsu. Ingin rasanya memeluk, mencium dan bercinta dengannya. Tapi sayang pertemuan keluarga yang hanya sehari semalam itu sangatlah sebentar bagiku. Aku selalu tidak pernah puas untuk mengkhayalkan Mbak Nin.
Setelah 14 kali pertemuan keluarga, sekitar 2 tahun setelah pernikahan Mas Bud dan Mbak Nin, akupun kuliah di Jakarta. Karena rumahku di Bandung, aku terpaksa harus mencari tempat kost. Tapi Mas Bud melarangku dan menyuruhku tinggal di rumah besarnya. Aku disuruh menjaga rumah selama kepergian Mas Bud ke negeri Belanda selama kira-kira 2 Bulan. “Sekalian menemani Mbak Nin”, demikian kata Mas Bud.
Aku jelas bersedia, selain ngirit uang kost juga bisa selalu melihat keindahan Mbak Nin.
Satu minggu telah belalu semenjak kepegian Mas Bud. Aku pun sibuk di kampus dengan berbagai jenis kegiatannya. Aku berusaha menyibukkan diriku agar pikiran kotor mengenai Mbak Nin dapat aku tepis. Aku tidak mau menghianati Mas Bud, kakak sepupuku.
Jam 7 malam tepat aku sampai dirumah Mas Bud, yang kini hanya didiami oleh satu orang pembantu rumah tangga, satu orang satpam, aku dan Mbak Nin. Aku lihat Mbak Nin belum pulang. Aku pun bebersih diri dan kemudian bersantai di kursi sofa sambil mendengarkan music klasik dari Beethoven. Dolby Digital Suround Sound System Super DTC yang ada di ruangan tengah itu membuai diriku dan akupun terlelap. Entah berapa lama aku tertidur di kursi sofa sampai kemudian aku terbangun dengan dering telephone dari mesin faximile yang ada di kantor pribadi Mas Bud.
Aku terkejut, terbangun dan bermaksud menuju ke arah suara telephone tersebut. Belum sempat aku beranjak dari kursi sofa, aku melihat suatu pemandangan yang sangat mengejutkan. Pintu kamar Mbak Nin terbuka, dan keluarlah Mbak Nin dengan rambut yang basah dan hanya di bungkus handuk berlari menuju kearah ruang kerja Mas Bud. Dari ruang santai tersebut aku bisa melihat jelas kearah ruang kerja Mas Bud. Aku lihat Mbak Nin sedang berbicara dengan seseorang di telephone tersebut.
Handuk itu membungkus tubuh Mbak Nin mulai dada sampai sampai perbatasan antara pantat dan pahanya. Hatiku berdebar sangat keras melihat itu semua. Terlihat betapa sintalnya tubuh Mbak Nin. Walaupun terbungkus handuk, bentuk pinggul dan pantatnya dapat terlihat jelas. Jantungku tambah tidak karuan ketika Mbak Nin mengambil sebuah buku dari lemari atas yang membuat handuk tersebut semakin terangkat.
“Oh, My God!” Ternyata Mbak Nin tidak memakai CD, terlihat belahan pantatnya yang sangat bulat, padat, putih dan mulus tak bercacat. Mbak Nin membalikan tubuhnya, aku terkejut dan tetap pura-pura tertidur. Mbak Nin kemudian duduk diatas meja kerja Mas Bud dan membaca buku yang baru saja diambilnya. Hal ini membuatku semakin gila. Kali ini Mbak Nin menyilangkan kakinya yang ramping itu agak tinggi sehingga handuknya makin naik ke atas. Benar-benar merupakan pemandangan yang sangat indah, pahanya yang putih mulus serta padat berisi itu membuat jantungku serasa mau copot.
“Pletak..!” Tak sengaja kakiku menyenggol vas bunga di atas meja didepan kursi sofa tempat aku berbaring. Aku kaget setengah mati takut ketahuan Mbak Nin. Untung aku tidak kehabisan akal, aku bangun dan membenarkan posisi vas bunga tadi dengn terus berpura-pura tidak menyadari keberadaan Mbak Nin.
“Apaan tuh?” Tanyanya yang kemudian aku jawab dengan singkat.
“Eh.., ini Mbak vas bunganya jatuh.” Jawabku.
“Rangga, kesini deh sebentar..!” Aku kaget setengah mati, Mbak Nin memanggilku.
Aku berjalan dengan pura-pura sempoyongan karena masih mengantuk. Aku berjalan menuju ruang kerja Mas Bud. Kulihat dari dekat Mbak Nin dengan posisi yang masih sama memandangiku. Perpaduan antara betis indah dengan paha yang putih, mulus padat berisi itu semakin jelas.
“Duduk sini!” Perintahnya sambil menunjukan kursi yang berada tepat didepan meja yang diduduki Mbak Nin.
Aku menurut tanpa sepatah katapun. Setelah aku duduk di depannya, Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dan meletakkan telapak kakinya tepat diantara pahaku. Aku hanya terdiam dengan jantung yang semakin kencang. Entah apa maksud Mbak Nin.
“Nih, lihat.., tadi pagi aku kesandung, dan jari kelingkingku sedikit memar.” katanya sambil tak hentinya kutatap kakinya yang indah dan bersih itu. Jari-jarinya mungil dan putih sangatlah indah bila di pandang dan di pegang.
“Mau nggak pijitin kaki Mbak?” Aku pun langsung meraih betis yang indah itu.
Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dari pangkuan kaki kirinya. Aku tak menyadari gerakan itu karena pikiran dan mataku saat itu terfokus kepada sesuatu diantara kedua belah paha Mbak Nin. Aku terkejut, telapak kaki kiri Mbak Nin tiba-tiba membelai dan memutari daerah kemaluanku yang masih tegang dan terbungkus celana jeansku. Aku memandangi Mbak Nin dan..,
“Jangan kegat, Mbak tau koq, dari dulu kamu selalu merhatiin Mbak terus khan?” Katanya.
Aku heran dari mana Mbak Nin tahu kalau aku emmang selalu mengagumi keindahannya.
“Mbak Nin juga selalu merhatiin kamu, cuma kamu aja yang nggak pernah sadar.” Katanya lagi.
“Kamu sayang Mbak Nin nggak?” Tanyanya.
“Ssayang mm.. mb.. mbak!” Jawabku terbata-bata.
“Mbak Nin juga sayang kamu”
“Bener deh!”
“Kalo kamu sayang Mbak Nin, kamu tolongin Mbak Nin mau khan?” Tanyanya.
“Mau Mbak, tolong apaan?” Tanyaku lagi.
“Cium betis Mbak Nin donk sayang!”
Baru kali ini Mbak Nin memanggilku sayang, bisanya Mbak Nin hanya memanggil namaku. Tanpa satu pertanyaan pun aku ciumi betisnya yang putih dan indah itu. Aku tidak hanya menciumi betis itu, sesekali aku menjilati betis itu. Makin lama makin ke atas sampai ke pahanya. Mbak Nin menggelinjang hebat, desahannya membuatku semakin buas.
“Ah.., sayang.. terus sayang.. enak..!” Aku menjadi semakin nekat, makin lama aku makin keatas terus dan kemudian bibirku tak hentinya menciumi paha Mbak Nin. Semakin lama semakin keatas.
“Cium aku sayang!” Tiba-tiba Mbak Nin menghentikan gerakanku.
Dengan kedua tanggannya Mbak Nin menarik kepalaku dan membimbingku untuk mencium kedua bibirnya yang sangat tipis dan berwarna merah muda. Kita berdua akhirnya saling berciuman. Sesekali lidahku masuk kemulutnya dan begitu pula sebaliknya. Lidah kita saling bermain di dalam mulut. Aku dapat merasakan, kedua tangan Mbak Nin berusaha membuka ikat pinggang kulitku. Aku terdiam saja, sampai akhirnta Mbak Nin menyelipkan tanggannya ke balik celanaku. Mbak Nin meraih batang kemaluanku, aku terus menciuminya sambil mencari ikatan yang mengikat handuk Mbak Nin.
“Mbak aku lepas ya handuknya?” Kataku.
Mbak Nin hanya menganggukan kepalanya sambil terus memandangiku. Tak lama kemudian aku lihat Mbak Nin sudah telanjang bulat didepanku, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang langsing, putih, mulus dan padat tersebut. Terlihat jelas olehku kedua bukit kembarnya. Besarnya tidak seberapa, tetapi memiliki bentuk yang sangat indah. Kencang, Padat, keras dengan puting yang sedikit mencuat keatas. Aku tak sabar, mulutku langsung mendarat tepat di puting susunya. Saat itu aku lakukan segala sesuatu yang bisa mulutku lakukan. Menjilati, menciumi dan menghisap. Kulakukan itu secara bergantian antara yang kiri dan kanan. Aku benar-benar asyik dengan kesibukanku saat itu.
“Ah, sayang.. terus sayang.. oh.” Aku menjelajahi seluruh tubuh bagian atasnya.
Dari kedua bukit kembarnya, aku ber alih ke ketiaknya. Aku angkat ke dua tangannya. Ketiaknya yang tanpa bulu dan beraroma wangi itu aku jilati dengan ujung lidahku. Mbak Nin menjepit kepalaku.
“Ah, jangan disitu dong, aku nggak kuat, geli!” akupun beralih ke perutnya.
“Busyet..!” Pikirku, tak sedikitpun lemak yang aku temukan di perutnya.
Sambil menciumi dan menjilati perutnya aku penasaran apakah ada sedikit saja lemak yang bertengger di perutnya. Aku memutar ke pinggangnya.
“Ah..sayang, ternyata kamu nakal..!” Mbak Nin mulai meracau.
Aku terus memutari bagian perutnya yang ternyata tak ada lemak sama sekali.
“Hebat.., a perfect woman.” pikirku.
“Tak ada, ya.. betul.. sama sekali.., tak ada cacatnya sama sekali tubuh wanita ini.” pikirku.
“Putih, mulus, padat, bersih, tak berlemak dan kencang.” aku terus menikmati menjilati tubuhnya.
“Buka celana kamu sayang..!” Mbak Nin menyuruhku, aku pun melorotkan celanaku sekaligus dengan CD ku, sehingga akupun telanjang bulat.
Batang kemaluanku sudah benar-benar mencuat keatas.
“Wow, Punya kamu udah bangun rupanya.”
“Tunggu sebentar ya.”
Mbak Nin naik keatas meja, seluruh tubuhnya benar-benar di atas meja. Mbak Nin mengatur posisinya, dan akhirnya Mbak Nin nungging diatas meja dengan wajah tepat di depan kemaluanku. Tangannya kirinya meraih dan menarik batang kemaluanku. Aku menurut saja bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya. Mbak Nin mulai menciumi kepala kemaluanku.
“OH..,!” Sekarang giliranku yang merasakan nikmatnya permainan yang Mbak Nin lakukan.
Mula-mula hanya kepala kemaluanku yang merasakan hisapan, jilatan, dan sedikit sentuhan giginya yang putih bersih. Lama kelamaan Mbak Nin membenamkan batang kemaluanku sedikit demi sedikit kedalam mulutnya.
“Ah.., Uh..!” Aku mendesah pelan dengan sedikit menyeringai untuk menahan gejolak yang sedang berkecamuk di dalam tubuhku.
Aku nggak mau hal ini cepat selesai. Mbak Nin terus mempermainkan batang kemaluanku. Kadang sesekali Mbak Nin mengulum kedua bijiku. Hal ini membuat kusedikit mules, tapi kenikmatan yang aku raih jauh dari itu semua.
Aku tak mau diam, aku julurkan tangan kananku untuk meraih perbatasan punggung dan belahan pantatnya. Untuk mengimbangi permainannya, pantat Mbak Nin yang terlihat nungging, ku remas dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih meraba-raba punggung Mbak Nin, aku raba dan aku belai punggung yang putih mulus itu. Tanganku bergerak turun menelusuri celah pantatnya, dan sekarang menuju liang kemaluannya. Kemaluan itu kemudian aku sentuh dari belakang, dan terasa sudah sangat basah dan merekah. Aku belai-belai bibir luar kewanitaannya dan akhirnya ku belai-belai clitoris-nya. Merasa clitoris-nya tersentuh oleh jari saya, pantat Mbak Nin semakin dinaikkan, dan terasa tegang, kuluman ke batang kejantanan ku semakin kencang dan buas. Melihat perpaduan antara belaian klitoris, punggung yang putih mulus dan kuluman rudal, suara kami jadi semakin maracau.
Kocokan mulutnya terhadap Batangku semakin lama semakin dalam dan cepat. Kadang kepalanya naik dan turun, tetapi kadang kepalanya juga sedikit berputar. Sedikit perubahan gerak dari kepalanya, terasa sangat nikmat aku rasakan. Aku mulai kehilangan kendali, ada sesuatu yang bergejolak di atas pangkal batang kemaluanku. Entah mengapa, tangan kanannya menyentuh perutku dan mendorongku. Dorongannya sedikit kuat sehingga aku terduduk di kursi lagi.
“Plop..!” Terdengar suara yang lucu akibat terlepasnya batang kemaluanku dari mulut mungilnya.
“Sekarang giliran kamu sayang.” Seakan Mbak Nin tahu, bahwa aku sudah mulai kehilangan kendali. Mbak Nin menghentikan permainannya dan mengatur posisinya lagi.
Aku dapat melihat dengan jelas. Lubang kenikmatan Mbak Nin yang bewarna merah muda dan merekah itu. Aku memandanginya sejenak. Betapa indah lubang surga Mbak Nin yang membuatku seakan tak bernafas menahan gelora dan aliran listrik yang mulai over load. Jari tengah tangan kanan Mbak Nin mempermainkan lubang surganya kekiri, kekanan, keatas, dan kebawah sehingga tampak kemaluan Mbak Nin kembang seakan kembang kempis. Sesekali Mak Nin Mempermainkan clitoris-nya sendiri. Tak berapa lama, wajahnya yang cantik dengan rambutnya yang hitam legam dan panjang itu menengok kebelakang, matanya yang semula bulat kini redup, dan dari bibirnya yang indah Mbak Nin berkata,” Kamu mau ini khan?” ujar Mbak Nin yang posisinya semakin menungging untuk menunjukan keindahan ludang surganya kepada ku agar lebih jelas dan agar aku semakin gila.
“Cukup sudah..!” Pikirku.
“Aku nggak tahan lagi.” Maka aku dekatkan batang kejantananku yang sudah tegak keras keatas dengan lubang kewanitaannya yang semakin harum dan basah itu.
“Ah.. sayang.. Ufhh!” Aku tempelkan kepala batang ku ke clitoris-nya dan aku gesek-gesekan ke sekitar lubang kenikmatannya.
“Sekarang sayang, sekarang.” Mbak Nin sudah tidak bisa menahan hawa nasfunya. Tangan kirinya menjulur ke belakang dan meraih batang kemaluanku. Mbak Nin membimbingnya mendekati gua surga itu, dan..
“Ss.. slek!” secara perlahan dan mantap, batang kemaluanku telah terbenam di lubang kenikmatan Mbak Nin.
Aku dorong pantatku secara amat sangat perlahan sehingga batang kemaluanku pun masuk secara amat sangat perlahan pula. Mulai dari bagian kepala kemaluanku, kemudian bagian leher, kemudian bagian batang, hingga semuanya amblas sampai ke pangkal kelamulanku.
“Ahh..” Mbak Nin dan akupun mendesah menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut seiring dengan pergerakan batang kejantananku.
Aku sengaja tidak langsung mengocokkan kontolku, aku diamkan semua bagian kejantannanku tetap habis amblas di lubang surganya sejenak. Aku rasakan sejenak betapa rasa lembab, basah, dan hangat yang luar biasa indah menyelimuti kemaluanku. Walaupun kemaluanku masih belum bergerak, aku dapat merasakan kemaluan Mbak Nin yang tidak hanya sempit, tapi juga dapat menghisap dan menekan-nekan kemaluanku.
Tanpa menarik kontolku, aku gerakan pantatku kedepan tiga kali sehingga.., “Bleb, bleb, bleb..!” Posisi Mbak Nin pun sedikit maju karena tekanan dari ku.
“Oh.., Ah.., Oh..!” Desahan Mbak Nin seiring dengan tekanan tadi.
“Sayang, cepat donk, pompa aku semau kamu!” Pinta Mbak Nin.
Aku mulai menarik dengan perlahan kemaluanku sampai sebatas leher kemaluanku, kemudian aku tekan perlahan, tapi hanya sampai setengah batang kejantananku, kemudan aku tarik, aku tekan setengah, tarik, tekan, tarik tekan.. terus begitu secara berulang. Aku melakukan dengan cara yang aku baca dari buku kama sutra, yaitu, aku tarik keluar kejantananku sampai sebatas leher dan kemudian aku masukan hanya setengah dari batang kejantananku sebanyak 10 kali, dan kemudian diselingi 1 kali keluar sebatas leher dan masuk sampai amblas semua batangku dan menahannya sejenak untuk memberikan kesempatan kepada Mbak Nin untuk melakukan gerakan berputar.
“Crek, crek.. crek.. crek.” Suara indah itu terulang sepuluh kali, diselingi dengan.. “Sleb..” sebanyak sekali “Plok, plok, plok, plok..!” Suara yang muncul akibat benturan antara pangkal pahaku dengan pantat putih mulus Mbak Nin membuat suasana semakin indah. Memek Mbak Nin memang gila. Betapa aku tak perlu mengangkat pantatku sedikit keatas agar mendapat gesekan dan tekanan pada bagian atas batang kemaluanku, atau ke bawah agar gesekannya lebih terasa di bawah, atau kekiri, atau kekanan.., semua itu tidak perlu sama sekali. Kemaluan Mbak Nin yang benar-benar lubang surga itu sudah sangat sempit, sehingga menekan dan menggesek semua permukaan kontolku, dari ujung kepala sampai ke pangkal kemaluanku.
Aku tak bisa lagi mengatur gerakanku, semakin lama gerakanku semakin cepat, dan tekanannya pun semakin keras. Dari posisiku yang di belakang, aku dapat jelas melihat penisku keluar masuk cepat ke lubang vaginanya, dan saking pasnya, terlihat bibir vagina Mbak Nin itu tertarik keluar setiap batangku kutarik keluar.
“Oughh, ough.., ah.., oh.., kamu hebat sayang.” Mbak Nin terus mendesah dan meracau.
Sesekali dengan posisinya yang menungging, tangan kanan Mbak Nin kebelakang dan menyentuh perutku untuk menahan tekanan yang aku lakukan. Aneh memang, Mbak Nin menahan laju tekanan penisku dengan tangannya, tetapi Mbak Nin terus meracau..
“Terus sayang, ah.., terus, terus sayang..!”
Buah dada Mbak Nin terpental-pental dan desahannya benar-benar menghanyutkan, seperti suara musik terindah yang pernah aku dengar.
“Ahh.. shh sshh sayang, Ohh.. enakk.. Uhh uhh.. hmm.. Enak sayang.. terus!” Seru Mbak Nin.
“Aowww..!” Tiba-tiba Mbak Nin sedikit berteriak.
“Kenapa Mbak, sakit ya?” Tanyaku yang hanya di jawab dengan senyum dan gelengan kepalanya saja.
“Teruskan sayang aku suka koq.” Katanya.
Aku berpikir mungkin gerakanku terlalu kuat, ditambah liang vagina Mbak Nin yang begitu sempitnya. Maka aku ambil inisiatif untuk mengangkat kaki kanannya. Aku angkat kaki kanannya agar lubang surga Mbak Nin sedikit lebih longgar, sehingga Mbak Nin dapat lebih menikmatinya.
“Oghh, ff, sayang kamu memang hebat!” Katanya.
Karena gesekan yang terjadi sedikit berkurang, aku semakin cepat melakukan gerakan maju mundur dengan sedikit gerakan keatas akibat terangkatnya kaki kanan Mbak Nin dengan tangan kananku. Semua hal itu tidak mengurangi kenikmatan yang aku rasakan, bahkan percintaan kami menjadi lebih variatif, sampai suatu saat aku turunkan lagi kaki kanannya dan kedua tanganku memegang pinggulnya kuat-kuat sambil sesekali meremas pantatnya yang bulat indah itu. Dan..
“Oughh.. sayang.. aku keluar..!” Vagina Mbak Nin kurasakan semakin licin dan hangat, tapi denyutannya semakin terasa.
Aku dibuat terbang rasanya. Aku hentikan gerakan maju mundurku, sekarang aku benamkan seluruh batang penisku ke liang vagina Mbak Nin sambil terus mendenyutkan batang kemaluanku. Aku tekan dengan kuat penisku sambil menahan pinggulnya yang indah. Aku yakin benar, denyutan yang aku buat di batang kemaluanku dan tekanan hebat terhadap kewanitaannya membuat orgasme Mbak Nin makin hebat dirasakannya. Terbukti dari kenikmatan orgasmenya itu, sekonyong-konyong membuatnya terbangun dari posisi nunggingnya disertai kedua tanggannya menjambak rambut kepalaku dengan kuat dan wajahnya yang menyeringai menahan gejolak kenikmatan surgawi.
“Huff, huff, huff..!” Nafas Mbak Nin menunjukan dia baru saja mengalami sensasi elektrikal yang hebat menjalar di tubuhnya.
Tubuhnya sedikit lemas. Aku tahan beban tubuhnya dengan tangan kiriku yang kemudian melingkari pinggulnya yang padat dan mulus itu sementara tangan kananku mengambil kursi tadi dan kemudian aku duduk di kursi itu sambil memangku dan menciumi bibirnya yang merah merekah.
“Oh sayang, aku keluar, oh enaknya.” Mbak Nin berbisik padaku sambil sesekali mencium telingaku.
Batang kejantananku pun masih terbenam di dalam kewanitaannya. Apa lagi dengan Mbak Nin di pangkuanku, membuat batang kemaluanku amblas habis sampai di pangkalnya. Hanya saat ini tidak terjadi gerakan-gerakan yang berarti.
“Kamu belum keluar ya?” Tanya Mbak Nin, aku diam saja dengan sedikit menggelengkan kepala.
Aku biarkan Mbak Nin berbicara, karena memang aku menikmatinya. Aku biarkan Mbak Nin beristirahat sebentar sambil menciumi wajah ku disertai tangannya yang terus-terusan meraba biji pelerku. Rasa hangat di batang kemaluanku masih begitu terasa, ingin rasanya aku gerakan lagi. Tapi aku bersabar, aku biarkan bidadariku mengumpulkan tenaganya untuk pertarungan tahap berikutnya. Tak berapa lama, aku coba mendenyutkan batangku.
“Ah, aow.. geli dong sayang..!” Mbak Nin berceloteh sambil disertai tawanya yang manja.
“Kamu masih kuat nggak, sayang?” Aku tidak lagi terdiam, pertanyaan ini harus kujawab.
“Masih donk, Mbak.” Kataku, aku masih tetap untuk berusaha menahan diri.
“Pindah ke kamarku yuk?” Ajak Mbak Nin.
“Tapi jangan di lepas ya sayang, punyaku masih betah sama punyamu.” Celoteh Mbak Nin.
Secara perlahan dan berhati-hati aku bangun dari kursi itu. Dengan posisi membelakangiku, aku bawa Mbak Nin keatas meja. Dan secara perlahan aku putar tubuh Mbak Nin dengan amat sangat hati-hati karena Mbak Nin tidak ingin kontolku terlepas dari memeknya, begitu pula aku. Dengan sedikit kerjasama, akhirnya kami berdua sudah saling berhadapan. Mbak Nin langsung ku gendong dengan penisku yang masih tatap tertanam. Kedua belah kaki panjang Mbak Nin mengempit pinggangku erat-erat. Aku pun melangkah ke kamar Mbak Nin.
Sesampai di kamar, aku rebahkan tubuh Mbak Nin di tempat tidur yang masih rapi. Tampak olehku kedua susu Mbak Nin yang indah. Puting susu yang kemerahan itu membuatku langsung melumatnya. Mbak Nin hanya bisa mendesah dan menggigit bibir bawahnya. Ketika aku baru menggerakan pantatku keatas Mbak Nin, menghentikan gerakanku..
“Sayang, tadi kamu yang kerja, sekarang giliran aku donk!”
“Aku pengen di atas ya!” Belum sempat aku jawab, Mbak Nin sudah mendorong tubuhku, sehingga aku mau nggak mau merebahkan tubuhku diatas kasur empuk tadi. Mbak Nin sekarang sudah ada di atasku tepat membentuk sudut 90 derajat dengan tubuhku.
“Luruskan kakinya sayang!” Perintah Mbak Nin sambil memegang kedua pahaku dan meluruskan kakiku.
Kedua tangan Mbak Nin kemudian memegang kedua puting susunya dan meremas kedua payudaranya sendiri, dan mulai menangkat pantatnya dan menurunkannya kembali. Saat ini dialah yang memompaku. Aku baru sadar, bahwa Mbak Nin saat ini tiada lain adalah kuda liar yang tak terkendali. Dia bergerak keatas dan kebawah yang kemudian di selingi dengan memutarkan pinggulnya yangjuga disambung dengan gerakan maju mundurnya.
Maju, mudur, atas, bawah, kiri, kanan, putar. Serasa penisku dipermainkan seenaknya. Mbak Nin menjadikan batang kemaluanku sebagai budak nafsunya. Kedua tanganku sibuk meremas-remas payudaranya, memelintir dan mencubit punting susunya, dan memegang pinggulnya. Sesekali dia membungkukkan badannya untuk menciumiku. Aku tidak diijinkannya untuk bangun dan mencium bibir atau pun buah dadanya. Saat ini dia terus memegang kendali. Kontolku semakin panas, rasa nikmat menjalar keseluruh tubuhku.
“Oh.. Mbak Nin, terus Mbak..!” Aku mulai meracau.
Betapa liarnya wanita ini. Rasa hangat dan nikmat yang tak terhingga mulai merambah batang kejantananku yang semakin lama mulai aku rasakan desiran yang hebat. Aku memejamkan mata dan meremas pinggul dan susu Mbak Nin. Aku tahan gejolak kenikmatan surgawi ini. Aku tak ingin benteng pertahananku Bobol, sebelum bidadari diatasku memuaskan diri memperbudak batang kemaluanku. Kempotan memek Mbak Nin semakin lama semakin kuat. Kemaluanku terasa terjepit dan semakin terjepit. Basah, lembab, licin, dan hangat menjadi satu menciptakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Aku berusaha menahan serangan sang bidadari. Kejadian tersebut terus berulang. Nafas kita berdua menderu-deru. Tubuh kami penuh dengan keringat.
“Oh.. Ah.. Oh.., Oughh, Off, Aowww..!” Mbak Nin pun sudah tidak lagi mendesah.
Desahannya di ganti dengan teriakan dan jeritan kecil. Gerakannya makin liar. Aku merasa kasihan melihat batangku diperbudak sedemikian rupa, tapi apa daya, kenikmatan yang aku rasakan lebih dari segalanya di dunia ini. Mendadak kulihat tubuh Mbak Nin mengejang. Mbak Nin menengadahkan kepalanya. Urat lehernya nampak, dia berteriak kecil.
“Aaoowww..!”
Kurasakan semburan lava panas menyelimuti batangku yang masih terbenam.
“Oh..!” kataku.
Nikmat sekali rasanya. Mbak Nin menjatuhkan tubuhnya didalam pelukanku. Dia mengalami orgasme lagi, hanya kali ini dia tidak mampu berkata apa-apa lagi. Tampak betapa lelahnya dia. Tapi untuk kali ini aku tak bisa memberi waktu lagi untuk Mbak Nin beristirahat. Aku sidah hampir dipuncak, mulai terasa olehku puncak kenikmatan yang sebentar lagi aku rasakan. Aku balikan tubuhku sehingga tubuh mulus Mbak Nin ada di bawahku.
“Oh sayang, aku tadi keluar lagi..!”
“Aku sudak cap..’” Belum sempat dia selesaikan ucapannya, aku sumpal kedua belah bibirnya dengan mulutku. Aku bimbing kedua betis Mbak Nin agar bertumpu di kedua bahuku. Aku mulai memompa dengan cepat dan dahsyat.
“Oh..sayang, kamu cepat keluar ya sayang..!”
“Aku sudah mulai lelah!”
Aku terdiam dan hanya terus memompa kemaluanku sampai amblas dan menariknya keluar sampai sebatas leher. Aku sudah tidak dapat mengendalikan tubuhku sendiri. Seakan tubuhku bisa bergerak sendiri semaunya.
“Oh.. ampun sayang..!” Desah Mbak Nin
Aku sedikit takut, jikalau Mbak Nin tidak bisa memuaskan aku saat itu. Tapi aku tak perduli. Aku kemudian berinisiatif, aku keleuarkan sejenak kontol ku dari lubang hangat Mbak Nin sejenak, kemudian aku angkat pinggul Mbak Nin dan aku ambil tiga buah bantal untuk mengganjal pantat Mbak Nin. Sehingga Vagina Mbak Nin terbuka dan terlihat Itil Mbak Nin yang mencuat. Keindahan vagina Mbak Nin yang berwarna merah muda dan dihiasi dengan clitoris-nya yang kecil mungil itu membuatku semakin buas.
Aku arahkan dan aku masukkan kembali batangku kedalam lubang surga milik Mbak Nin tersebut. Hanya kali ini aku memasukkannya dengan cepat dan tepat tanpa basa-basi lagi. Lalu aku memompanya dan terus memompanya dengan cepat sekali sambil jari-jemari tangan kananku mempermainkan clitoris–nya. Entah mengapa, teriakan dan desahan Mbak Nin berubah lagi, yang asalnya, “Aku capek sayang, ampun.., aku capek..!”, telah Berubah menjadi.., “Terus sayang, aku sanggup keluar sekali lagi.. terus sayang.. teruuss!”
Desahan dan jeritan kecil itu membuatku semakin semangat. Aku genjot terus, terus dan terus..!
“Oh sayangku, aku mau keluar lagi..!” Kata Mbak Nin.
“Sebentar sayang, sebentar lagi aku juga keluar.. taah.., ttahan dulu ya sayang..!” Aku mulai nggak keruan.
Genjotan kontolku, goyangan pinggul Mbak Nin, dan kempotan memek Mbak Nin. Membuat segalanya tak terkendali. Ketika kulihat Mbak Nin mulai menengadahkan kepalanya dan urat lehernya mulai mengejang. Aku segera mempercepat genjotanku, dan akhirnya..
“Aakkhh..!” Kami berdua berteriak kecil, kedua tangan Mbak Nin memegang pantatku dan menekannya dengan keras kearah memeknya sampai kejantananku amblas habis tak bersisa satu mili pun. Aku membungkukan badanku dan menyelipkan pergelangan tanganku ke ketiaknya dan telapak tanganku mengangkat kepalanya sehingga aku bisa mencium bibirnya.
“Crot.. serr.. crot.. serr.. crot.. ser..”
Entah berapa kali cairan puncak kenikmatan surgawi ku menyembur dan bertemu dengan cairan kenikmatan tiada tara nya Mbak Nin. Cairan kenikmatan kami saling bertemu di dalam vagina Mbak Nin. Mungkin sekitar 40 atau 50 detik, kita berdua saling merengkuh puncak kenikmatan itu. Kehangatan yang amat sangat indah itu menyelimuti kejantananku. Kontolku terus berdenyut seiring dengan memek Mbak nin yang juga berdenyut. Kita berdua tidak sanggup lagi berkata apapun juga. Tubuh Mbak Nin tergeletak di samping tubuhku. Aku berusaha untuk mengangkat tubuhnku dengan tenagaku yang terakhir.
Aku cium bibirnya dan Mbak Nin pun berkata, “Yy.. yang terakhir itu.. ad.. adalah or.. orgg.. orgasme ku yang paling lama..”, lalu kami berdua pun tidur saling berpelukan sampai keesokan paginya.
Semenjak itu kami bagaikan sepasang burung yang sedang kasmaran. Diluar kesibukan kami sehari-hari selalu kami gunakan untuk bercinta dan bercinta. Tiada hari yang kami lewatkan tanpa sex. Kami pun sering membaca buku tentang sex agar kami berdua selalu bisa terpuaskan, dan yang paling penting, memuaskan. Kami pun tak tahu waktu dan tempat. Kadang kami melakukannya di Garasi, di meja dapur, di sofa, di dalam mobil, di kamar mandi, di kolam renang, di halaman rumah, di atas rumput, bahkan kami pernah melakukannya di dalam lift sebuah Mall yang saat itu mendadak macet dan kami terjebak di dalamnya.
Share this article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2011 Cerita Konak All Rights Reserved.
Created by Aland IndoBlack- Powered by Blogger.com.